Merupakan hal yang cukup sulit dalam menentukan apakah
melakukan investasi untuk membangun infrastruktur teknologi informasi merupakan
hal yang tepat atau tidak. Di satu pihak perusahaan merasa bahwa seperti halnya
investasi di bidang lain, harus ada target ROI (Return On Investment) yang
dikenakan pada setiap investasi terhadap komponen teknologi informasi,
perusahaan pesaing lain banyak yang sudah tidak memikirkan hal ini lagi, alias
investasi yang dilakukan sudah melampaui batas-batas kewajaran (berlebihan).
Namun gejala over investment ini bukan tanpa alasan dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan besar mengingat banyak sekali advantage dari
utilisasi teknologi informasi yang tidak dapat diukur secara finansial.
Remenyi, Arthur Money, dan Alan Twite mencoba mengilustrasikan benefit tersebut
dalam sebuah matriks (Remenyi et al, 1995) yang dapat digunakan sebagai
landasan manajemen dalam pengambilan keputusan.
Masalah investasi di bidang teknologi informasi
merupakan hal yang cukup signifikan bagi para manajemen senior perusahaan. Di
satu sisi mereka sadar bahwa sudah saatnya (kalau tidak memang karena sudah
terlambat) mereka harus memiliki suatu teknologi informasi yang dapat menunjang
bisnis mereka, sementara di lain pihak mereka harus mengeluarkan biaya yang
relatif cukup besar untuk dapat merancang dan mengimplementasikan teknologi
informasi yang dibutuhkan. Tanpa memiliki teknologi informasi yang cukup
canggih, sulit di alam kompetisi global ini untuk dapat bersaing dengan
perusahaan-perusahaan besar dari manca negara yang mulai banyak mengembangkan
usahanya di tanah air. Namun salah mengidentifikasikan kebutuhan teknologi pun
akan menjadi bumerang bagi organisasi yang bersangkutan. Jika dalam organisasi non-profit
jenis teknologi yang cocok adalah yang tepat guna, dalam perusahaan, besarnya
investasi di bidang teknologi informasi yang feasible ditentukan melalui
suatu analisa biaya dan manfaat (cost-benefit analysis).
Menghitung biaya investasi yang diperlukan di
muka, dan biaya operasional yang secara periodik harus dikeluarkan per bulannya,
cukup mudah untuk dilakukan. Namun terkadang para praktisi teknologi informasi
maupun manajemen perusahaan sulit meyakinkan pelaku investasi akan besarnya
manfaat (benefit) yang akan diperoleh melalui investasi di bidang
teknologi informasi, karena tidak semua jenis manfaat dapat dengan mudah
dirupiahkan. Remenyi (Remenyi et.al., 1995) membagi manfaat dari utilisasi
teknologi informasi menjadi dua macam, yang bersifat tangible dan intangible.
Manfaat tangible adalah yang secara langsung berpengaruh terhadap
profitabilitas perusahaan, baik berupa pengurangan atau penghematan biaya (cost)
maupun peningkatan pendapatan (revenue). Sebagai contoh, jika pada
mulanya perusahaan harus mempekerjakan beberapa karyawan yang secara khusus
bertugas mempersiapkan laporan-laporan rekapitulasi keuangan, dengan
diimplementasikannya aplikasi Datawarehousing perusahaan yang
bersangkutan tidak perlu lagi harus merekrut karyawan-karyawan baru yang harus
digaji per bulannya. Contoh lainnya adalah dengan diinstalasinya ATM (Automated
Teller Machine) sebagai perpanjangan tangan atau kanal distribusi, sebuah
bank dapat merperluas jangkauan bisnisnya sehingga dapat menjaring para
pelanggan baru atau non pelanggan untuk melakukan transaksi melalui mesin
tersebut. Secara nyata perusahaan dapat merasakan pertambahan revenue
yang diperoleh melalui transaksi-transaksi melalui jaringan ATM-nya.
Namun pada kenyataannya, tidak semua jenis
manfaat tangible dapat dinyatakan dalam besaran angka atau kuantitatif.
Contoh yang paling populer adalah dengan dikembangkannya Office Automation
System, sebuah perusahaan merasa kinerjanya menjadi lebih efisien dan cost
effective. Namun besarnya efisiensi dan efektivitas sangat sulit
dikuantitatifkan dalam rupiah. Hal ini dikarenakan pemakaiannya di dalam sebuah
perusahaan bersifat sistemik, dalam arti kata menyebar di seluruh proses inti
dan aktivitas penunjang yang ada sehingga sangat sulit untuk menentukan
proporsi nilai investasi terhadap sebuah rangkaian proses tertentu atau
sub-sistem tertentu yang ingin dihitung produktivitasnya. Contoh lainnya
seperti mesin ATM, ternyata tidak saja berpengaruh terhadap meningkatnya
produktivitas pada proses pelayanan terhadap pelanggan (dibandingkan dengan
menggunakan teller), tetapi berpengaruh pula terhadap aktivitas terkait
lainnya seperti mempercepat proses transfer antar rekening, mengurangi biaya
komunikasi dan transaksi, meningkatkan rasa aman pelanggan, mempertinggi
tingkat kepuasan nasabah, dan lain sebagainya.
Di sisi lain, manfaat intangible didefinisikan
sebagai manfaat positif yang diperoleh oleh perusahaan sehubungan dengan
pemanfaatan teknologi informasi, namun tidak memiliki korelasi secara langsung
dengan profitabilitas perusahaan. Seperti halnya manfaat tangible
manfaat intangible dapat dibagi menjadi dua bagian, yang quantifiable
dan yang unquantifiable. Berdasarkan kenyataan di lapangan, terlihat
bahwa sebagian besar manajemen hanya memperhatikan manfaat yang tangible-quantifiable
karena mudah untuk dikalkulasi dan dirupiahkan dan terlihat berpengaruh
langsung terhadap profitabilitas perusahaan. Sehingga tidaklah mengherankan
jika melihat kenyataan betapa sulitnya meng-goal-kan suatu proyek
teknologi informasi karena berdasarkan perhitungan, terlihat bahwa benefit
yang diperoleh tidak sesuai dengan besarnya cost yang dikeluarkan. Namun
jika manajemen berani untuk mengkalkulasi baik secara heuristic maupun
secara what-if simulation, akan terlihat kelayakan investasi di bidang
teknologi informasi.
Kalkulasi secara heuristic biasanya dilakukan
dengan cara hitung-hitungan kasar dan sederhana. Katakanlah untuk membangun
suatu Executive Information System, manajemen senior ditanya berapa
besar yang bersangkutan mau membayar untuk sebuah laporan atau informasi per
harinya. Jika manajer tersebut mau membayar katakanlah Rp 10,000 per laporan
per harinya, berarti dengan kata lain beliau mau mengeluarkan kurang lebih Rp
200,000 per bulannya. Jika ada 50 manajer dalam satu perusahaan, berarti per
bulannya mereka mau mengeluarkan Rp 10,000,000 per bulan untuk laporan yang
bersangkutan, atau dengan kata lain Rp 120,000,000 per tahunnya. Nilai kasar
inilah yang dianggap dapat merepresentasikan nilai dari informasi (manfaat)
tersebut, sehingga dapat melakukan perbandingan dengan biaya yang diperlukan
untuk membangun teknologi Executive Information System tersebut.
What-if simulation biasanya berupa suatu aplikasi sederhana dalam spreadsheet
yang berisi kalkulasi secara matematis mengenai hubungan antara
variabel-variabel yang berpengaruh terhadap biaya dan manfaat dari kinerja
teknologi informasi. Katakanlah dengan diimplementasikannya teknologi komputer
tertentu, maka seorang customer service dapat lebih cepat melayani
pelanggan, sehingga dalam satu hari akan lebih banyak jumlah pelanggan
yang dapat dilayani oleh perusahaan yang bersangkutan, yang secara tidak
langsung akan meningkatkan kualitas pelayanan dan mendatangkan sumber-sumber
pendapatan yang potensial. Katakanlah counter tersebut bertugas melayani
pembukaan rekening baru di bank, maka dalam satu hari, jumlah pemasukan bank
dengan adanya teknologi komputer akan lebih besar jika dibandingkan dengan
teknologi sebelumnya yang manual. Masih banyak lagi teknik-teknik lain yang
dapat dipergunakan untuk menghitung manfaat menyeluruh yang dapat diberikan
oleh suatu teknologi informasi. Pada dasarnya, perlu dibentuk tim yang secara
khusus dapat melakukan analisa cost-benefit secara menyeluruh sehingga
manajemen dapat dengan mudah mengambil keputusan terhadap investasi besarnya di
bidang teknologi informasi.
Selain itu, perhitungan tersebut diatas, juga dapat
menggunakan sejumlah langkah yang dikemukakan oleh David Silk pada tahun 1990.
David Silk menawarkan langkah-langkah untuk membantu manajemen dalam mengukur
manfaat intangible tersebut (Silk, 1990). Adapun pendekatan tersebut
terdiri dari enam langkah utama:
- Langkah pertama adalah mencoba untuk menkonseptualisasikan dampak atau manfaat yang kira-kira akan diperoleh perusahaan dengan diimplementasikannya sistem baru. Misalnya, Automatic Billing System yang diharapkan dapat memberikan serangkaian manfaat seperti mengurangi kesalahan, mempercepat pengiriman tagihan, mereduksi durasi pembayaran, dan lain sebagainya.
- Langkah kedua adalah melihat perubahan langsung apa yang kira-kira akan terjadi terkait dengan manfaat yang telah didefinisikan pada langkah sebelumnya. Contohnya adalah sebagai berikut: Mengurangi kesalahan, berarti akan terjadi perubahan dalam hal keluhan pelanggan berkurang, kepuasan pelanggan meningkat, dan biaya memperbaiki kesalahan dapat direduksi (biaya komunikasi, kertas, peralatan kantor, dan waktu yang hilang). Mempercepat pengiriman tagihan, berarti akan terjadi perubahan dalam hal ketepatan pembayaran, tertib administrasi, penjadwalan pemasukan, dan lain sebagainya. Mereduksi durasi pembayaran, berarti akan terjadi perubahan dalam hal pemasukan diterima lebih cepat, memperkecil opportunity loss karena keterlambatan pembayaran dan lain sebagainya.
- Langkah ketiga adalah menentukan jenis indikator ukuran apa yang dapat dipergunakan untuk merepresentasikan masing-masing perubahan tadi, seperti: mengurangi keluhan dengan menggunakan indikator jumlah keluhan, mengurangi kesalahan dengan menggunakan indikator jumlah kesalahan, mempercepat tagihan dengan menggunakan indikator waktu pengiriman, dan mempercepat pembayaran dengan menggunakan indikator waktu pembayaran.
- Langkah keempat adalah memperkirakan kuantitas perubahan yang terjadi terhadap masing-masing indikator ukuran yang ada jika sistem baru diimplementasikan. Dalam hal ini misalnya: jumlah keluhan berkurang dari sekitar 10 buah per hari menjadi tidak lebih dari 2 per hari; jumlah kesalahan berkurang dari sekitar 150 buah per hari menjadi tidak lebih dari 10 per hari; waktu pengiriman tagihan ke klien atau pelanggan dari rata-rata 2 minggu menjadi sekitar 2 hari; waktu pembayaran dari rata-rata 6 minggu menjadi 1 minggu.
- Langkah kelima adalah mentransformasikan perubahan kuantitas indikator tersebut ke dalam satuan finansial terkait dengan hal tersebut. Misalnya: Melayani sebuah keluhan membutuhkan seorang customer service menggunakan telepon selama kurang lebih 30 menit sehingga dengan berkurangnya jumlah keluhan dari 10 menjadi 2, maka waktu komunikasi yang dihemat adalah kurang lebih 4 jam. Jika 1 jam perusahaan harus membayar katakanlah Rp 25.000,- untuk telepon interlokal, dalam sehari yang bersangkutan telah menghemat biaya sebesar Rp 100.000,-. Contoh lainnya adalah waktu pembayaran yang tadinya biasa dilakukan dalam 6 minggu menjadi 1 minggu berarti perusahaan akan memperoleh uang satu bulan lebih cepat. Jika perusahaan memiliki 1000 orang pelanggan, dan nilai transaksi per masing-masing pelanggan sebesar Rp 1 juta, maka perusahaan tersebut berhasil mendapatkan uang Rp 1 milyar lebih cepat. Jika bunga bank dalam setahun sebesar 12%, sama saja dengan perusahaan berhasil mendapatkan bunga yang selama ini hilang karena keterlambatan pembayaran sebesar Rp 10 juta per bulannya.
- Langkah keenam adalah menggunakan total hasil perhitungan di atas sebagai jumlah manfaat yang diberikan sistem teknologi informasi kepada perusahaan. Selanjutnya barulah berdasarkan karakteristiknya, pergunakanlah metode pengukuran cost-benefit seperti ROI, IRR, NPV.
Sementara itu, dalam setiap kegiatan melakukan
investasi teknologi informasi masih harus mempertimbangkan dua hal yang sangat
penting, yakni keuntungan teknologi informasi dan keuntungan bisnis. Keuntungan
teknologi informasi dilihat dari nilai TCO (total cost of ownership).
Belakangan nilai TVO (total value of ownership) juga menjadi
pertimbangan penting. TCO lebih memperhatikan kinerja operasional penggunaan
teknologi informasi sedang TVO lebih kepada nilainya terhadap keuntungan
bisnis. TVO sendiri memiliki tiga unsur yang harus diperhatikan, yakni analisis
cost/benefit, proses manajemen dan kematangan dalam pengambilan
keputusan.
Seperti contoh berikut ini, sebuah perusahaan dengan
penghasilan 10 milyar rupiah dan karyawan 400 orang mengeluarkan biaya untuk
teknologi informasi sebesar 5% (500 juta rupiah) setiap tahun. Dengan begitu,
setiap penurunan 1% dari TCO teknologi informasinya akan menghemat keuangan
perusahaan sebesar 5 juta rupiah. Akan tetapi, dengan meningkatkan 1%
produktivitas 400 karyawannya, perusahaan akan mampu meningkatkan nilainya
sebesar 100 juta rupiah. Karenanya, dalam memutuskan investasi teknologi
informasi yang sangat perlu diperhatikan adalah kedua dimensi tersebut, yakni
biaya dan bisnis. Tantangannya, adalah bagaimana mengukur dampak penerapan
teknologi informasi terhadap produktivitas karyawan.
Cara termudah menormalkan pengukuran produktivitas
secara menyeluruh adalah dengan menggunakan pendapatan per karyawan sebagai
alat ukur utamanya. Dengan membagi pendapatan per karyawan dengan beban gaji
per karyawan akan menghasilkan suatu rasio tertentu. Rasio merupakan nilai
rata-rata, “Rasio Produktivitas” untuk perusahaan secara menyeluruh. Kalau revenue
perusahaan sebesar Rp 10 milyar per tahun dengan karyawan sebanyak 400 orang
dan beban gaji per karyawan sebesar Rp 500.000,- maka rasio produktivitas per
karyawan adalah 50 (Rp 10 milyar/400 karyawan/Rp 500.000 = 50). Dengan begitu,
dari setiap seribu rupiah biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk membayar
karyawannya diharapkan akan menghasilkan rata-rata pendapatan perusahaan
sebaesar Rp 50.000,-. Produktivitas merupakan fakta empiris yang mudah
dihitung. Namun demikian, masing-masing perusahaan memiliki alat ukur yang
berbeda-beda dalam menilai rasio produktivitas karyawannya. Sebagai contoh,
Perusahaan asuransi misalnya, cenderung menilai rasio produktivitas karyawannya
sangat tinggi, sedang perusahaan jasa sebaliknya. Namun, rasio yang tinggi
tidak selalu menunjukkan indikator “kebagusan”, melainkan lebih sebagai pembanding
yang dapat digunakan sebagai tolok ukur. Karenanya, membandingkan antar
industri kurang begitu penting, karena masing-masing industri menggunakan
faktor-faktor ekonomi, model bisnis dan nilai kompetitif yang berbeda-beda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar